Fajlurrahman Jurdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Berjalannya waktu, berputarnya keadaan, silih bergantinya problem, selalu ada yang tak pernah bergeser, yakni “kebenaran”. Meskipun demikian, kebenaran dalam demokrasi tak pernah tunggal, ia plural, sehingga menjadi bahan diskursus. Pada titik tertentu, kebenaran versi tiap orang berbeda-beda, namun pada waktu yang lain, kebenaran itu akan saling bertemu.
Itulah pentingnya deliberasi, mempercakapkan kebenaran itu secara konsisten, secara terbuka dan dengan sikap saling menerima. Dengan sering mendialogkan, maka kebenaran akan selalu menemukan habitusnya, sehingga makin sering dialog dan pertentangan dibangun, kebenaran dalam demokrasi makin menguat. Dalam konteks ini, dialog dan gerak dialektis, adalah pra syarat utama demokrasi tumbuh berkembang, juga memiliki kekuatan kultural.
Dalam prespektif yang lebih sederhana, demokrasi akan dirawat dengan cara merawat kebebasan. Dalam hal ini, prinsip-prinsip etis kebebasan juga diperlukan dalam batas yang tidak melanggar privasi. Sehingga warga Negara sebagai suatu komunitas hidup tanpa ketakutan, baik secara horizontal yang datang dari sesama warga Negara, maupun secara vertikal yang datang dari Negara (baca: kekuasaan).
Bagi sebagian warga Negara, kebebasan itu biasanya diganggu secara vertikal. Karena melalui tangan kekuasaan, kebebasan tak berdaya dan demokrasi disandera. Ada dua pola yang dapat digunakan untuk menyandera demokrasi; pertama, menggunakan instrumen fisik. Kekerasan bisa dengan cara “memborgol” fisik, menakuti dan mengancam setiap perbedaan yang tumbuh dalam masyarakat.
Perlawanan masyarakat sipil terhadap kebijakan Negara tidak ditanggapi dengan mengajak dialog dan mencari jalan keluar agar ada titik temu, tetapi “dipaksakan” secara struktural. Bagi mereka yang menentang, maka akan berhadapan dengan kekerasan fisik apparatus kekuasaan. Pada titik ini, kebebasan tak menemukan titik dialog, dan demokrasi menemui jalan buntu. Kekuasaan menari diatas panggung politik dengan mengerahkan kekuatan dan kekerasan.
Pola kedua, adalah dengan memproduksi sebanyak mungkin aturan yang bisa mengekang kebebasan. Dengan tumpukan aturan yang dibuat, maka mereka memproyeksikan kekuasaan akan berusia panjang dan tekanan masyarakat sipil bisa dimanipulasi dengan ancaman melanggar aturan yang dibuat itu.
Dalam skema ini, kedudukan kekuasaan menjadi kuat dan ia bisa sekali-sekali bermanuver untuk mengancam masyarakat sipil untuk tidak terlalu keras melakukan perlawanan. Dua jenis pola penyanderaan terhadap demokrasi yang bisa dilakukan oleh kekuasaan tersebut, secara ringkas dapat disebut sebagai despotisme lunak.
Despotisme prinsipnya sama dengan otoritarianisme. Secara sederhana, despotisme adalah “sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang”. Sedangkan otoritarianisme adalah sistem kekuasaan dimana seseorang berkuasa sendiri, sewenang-wenang dan tak terbatas. Karena itu, penulis menyebut, bahwa gaya kekuasaan dengan dua pola diatas dengan istilah “despotisme lunak”. Ditambahkan kata “lunak” untuk membedakannya dengan despotisme keras atau otoritarianisme.
Salah satu ciri despotisme lunak adalah setiap tindakan dan keputusan kekuasaan itu bersandar pada hukum. Tetapi hukum itu diproduksi dengan cara-cara yang melanggar demokrasi dan kebebasan sipil. Sehingga untuk terus menjaga agar kekuasaan tidak “terjamah” terlalu jauh dari perlawanan publik, maka sesekali kekerasan diperlukan dengan dalil menegakan hukum.
Apa yang dihasilkan oleh kekuasaan melalui persetujuan KUHP misalnya, adalah bentuk pelanggengan despotisme lunak itu. Karena disana ada upaya untuk melindungi kekuasaan dari kritik dan perlawanan publik. Apa yang dilakukan oleh KPU yang tengah viral saat ini adalah bentuk dari despotisme lunak, dimana demi dan atas nama “memenuhi syarat” bagi partai-partai yang seharusnya tidak lolos, justru dilakukan dengan ancaman dan tekanan, agar dipaksa dan dimanipulasi supaya “memenuhi syarat”.
Pembangkangan DPR yang menegasikan putusan MK agar UU Ciptaker diubah dan disesuaikan dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah juga bentuk despotisme lunak. Karena yang diubah bukan UU Ciptaker sebagaimana perintah putusan MK, tetapi justru UU Nomor 12 tahun 2011. Ini merupakan perlawanan terhadap putusan pengadilan oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Maka kesewenang-wenangan itu dilakukan secara lunak, tidak dilakukan melulu dengan cara menekan secara fisik. Meskipun sekali-sekali kekerasan fisik diperlukan untuk memberi efek takut kepada masyarakt sipil, tetapi pola itu tidak selalu digunakan. Inilah yang menjadi penyebab, bahwa tahun 2022 adalah tahun dimana “perkakas despotisme lunak” diperkuat.
Kekuasaan dengan gaya despotisme lunak lebih membahayakan ketimbang despotisme keras. Karena despotisme keras, sama dengan otoritarianisme. Pada Otoritarianisme, musuh yang dihadapi masyarakat sipil itu nyata, yakni kekuasaan. Tetapi pada despotisme lunak, musuh itu bisa saja datang tanpa diduga, karena mereka tidak selalu menggunakan kekuatan secara nyata.
Disinilah pentingnya kecerdasan untuk memahami diskursus dimasa depan. Terutama tahun Pemilu di tahun 2023 dan 2024, kita perlu memahami tindakan kekuasaan dan skala yang diakibatkannya sangat penting, karena perkakasnya sudah mereka siapkan.