Dalam keadaan yang tak dikehendaki, kadang kekuasaan ingin menjadi mitos. Di banyak tempat, untuk mengukuhkan mitologi itu, kekuasaan membangun patung dan merumuskan “kurikulum”, dan dalam berbagai kesempatan, ia membeli sebagian tokoh agama untuk menopang legitimasi kekuasaannya.
Dalam konteks ini, kekuasaan butuh mitologi pasca ia berkuasa. Untuk membangun mitologi, kekuasaan membutuhkan rumus-rumus kebenaran, dan kebenaran yang paling penting adalah bagaimana ia bisa menjadi satu-satunya sumber bagi seluruh pikiran dan tindakan dalam lingkungan yang ia kuasai. Maka ia tak dapat dipersalahkan, yang dalam kalimat Louis XIV saat ia ucapkan dihadapan parlemen Paris pada 13 April 1655, L’État, c’est moi, Negara adalah aku. “Negara” yang publik, menyatu bersama “aku” yang personal. Maka, “Negara menjadi aku, dan aku menjadi Negara”. Ia berkuasa selama 72 tahun, dan sebelum meninggal, kata Louis de Rouvroy yang membela Louis, ia mengucapkan: “Je m’en vais, mais l’État demeurera toujours” (saya akan pergi, tetapi negara akan tetap ada).
Mistisisme kekuasaan sebagai yang “maha baik”, telah diletakkan secara fondasional oleh Agustinus. Sang pendeta mengunci rapat, bahwa; “Citizens have the duty to obey their political leaders regardless of whether the leader is wicked or righteous. There is no right of civil disobedience”. Betapa sakralitas, mistisisme dan tak pernah salah itu merupakan milik tunggal sang penguasa.
Tetapi historical dan pendasaran argumen Agustinus adalah doktrin teologis, tentang bersatunya “dunia sini dan dunia sana”, yang diperintah oleh dua mahluk titisan Tuhan, Raja dan Pendeta. Keduanya adalah satu yang tak terpisahkan. Raja mengurus “dunia sini”, sedangkan pendeta mengurus “dunia sana”. Maka, apa yang dilakukan oleh Raja adalah melaksanakan kehendak Tuhan “disini”, sedangkan sang pendeta mengatur kehendak Tuhan “disana”.
Titik temu yang kompatible antara kehendak sang dei (tuhan) dan ambisi dunia yang tercetak dalam dada sang raja, menyebabkan “ucapan” dan dalil-dalil politik yang imanen dari sang raja, menjadi transenden ketika kehendak Tuhan mewujud bersamanya. “Aku mengucapkan apa yang tuhan kehendaki, dan aku adalah sang penerjemah keinginan Tuhan yang transenden”.
Saat ia merasa menjadi bagian dari Tuhan, maka dalam mitologi jawa, sang penguasa menyebut dirinya; “Ingsun”. “Ingsun” adalah pengganti kata “aku” yang semula “profan” menjadi transenden. “Ingsun” adalah hakikat Tuhan dalam realitas, sebab itu, ia punya “martabat”. Dengan “martabat” itu, sang “ingsun” adalah “maha manusia”, yakni manusia yang bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Tuhan. Pada konteks ini, ia menjadi “maha benar”, sebab perbuatan manusia adalah juga perbuatan Tuhan.
Belakangan ini, sebagian penguasa, hendak meletakkan fondasi mitos tentang dirinya. Keinginan untuk menjadi “maha manusia” cukup besar, meskipun terhalang oleh sistem. Untuk memperpanjang usia dan rentang kendali kuasa, mereka rata-rata menyiapkan pengganti yang “patuh, taat, dan setia” untuk melanjutkan rencana yang ia letakkan. Meskipun, rencana dan fondasi yang diletakkan penuh intrik, skenario dan ranjau kejahatan.
Bagi “ingsun” ia selalu benar. Bagi Louis, “Negara adalah Dia”. Sementara Agustinus menghendkaki “the duty to obey” bagi warga Negara. Jika dirangkum, bukankah ini semua sebenarnya adalah mengokohkan dalil, bahwa penguasa adalah “maha manusia” yang tak pernah salah?. Dalil ini sangat terkenal dengan istilah; “The king can do no wrong”. Raja tak dapat dipersalahkan?. Jika tak dapat dipersalahkan, tidak kah ia “maha benar”?. Bukankah dalam teologi, yang maha benar itu hanya Tuhan?.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.