Tahun 2024 adalah tahun yang berat dilalui, tetapi berhasil diterjang oleh kita semua. Tahun dimana harapan disematkan, janji diutarakan, kalimat diucapkan dengan sekuat tenaga, serta rencana-rencana tak terduga. Para penguasa mengobral janji melalui kampanye dan kata-kata, meskipun rakyat sudah kenyang dengan janji-janji itu, mereka tetap saja menanti kepastian. Makin banyak omong kosong datang dan pergi, makin tertimbun harapan di segenap penjuru negeri, sehinga mengakibatkan rakyat dijejali oleh ragam ketakpastian.
Pemilu dan Pilkada dilaksanakan di tahun 2024, sehingga tahun lalu juga layak disebut sebagai tahun transisi kekuasaan. Estafet kepemimpin berganti dan berubah pada mereka yang enggan menunaikan harapan rakyat, namun status quo tetap terjaga di banyak tempat. Kemenangan dan kekalahan terjadi dalam kekusutan transisional yang tak terkira.
Betapa banyak mereka yang wajahnya muram durja karena tak berhasil merebut kuasa yang mereka cita-citakan. Kekuasaan, seolah menjadi berhala yang disembah dan dipuja, sehingga diburu dengan menghalalkan segala macam cara. Kekuasaan yang semestinya dikendalikan oleh aktor, sepanjang tahun 2024, kekuasaan beralih menjadi pengendali aktor. Faktornya sederhana, rasa haus subyek yang tak bisa ditawar sehingga mereka tak melihat kekuasaan sebagai instrumen, tetapi sebagai tujuan.
Bayang-bayang kekuasaan sebagai tujuan inilah yang menyebabkan tindakan subyek melampaui rule of the game. Tidak dapat dibayangkan, subyek menggunakan dalil tanpa batas untuk mengejar nilai-nilai yang tak terhitung secara kuantitaif, dan nilai yang dimaksud adalah kedudukan, jabatan atau kekuasaan. Karena mengejar itu, tunggangan para subyek tak dipikirkan, asal bisa mengantar menuju tujuan, mereka kendarai seluruh jenis tunggangan yang diperlukan.
Akibatnya apa saja diterabas. Hukum, nilai-nilai kolektif, serta prinsip moral digunduli sedemikian rupa, sepanjang kekuasaan sebagai tujuan itu bisa dicapai. Dengan “setengah” serius Nietzsche menyingkap tabir rasa haus dan tamak itu dengan sebutan the will to power, hasrat tak terbendung pada kekuasaan. Orang-orang bisa mencelakai bahkan saudaranya sendiri, demi dan atas nama kekuasaan.
Demi dan atas nama kekuasaan itu, kita menyaksikan bagaimana konstitusi ditelanjangi hingga “tanpa busana” serta dihancurkan sedemikian rupa, hukum direcoki dan diarak ke tiang gantung politik, moralitas dibakar diatas tungku perapian kekuasaan. Untuk apa itu semua?. Itu semata-mata karena the will to power, hasrat berkuasa yang tak terkendali.
Antar subyek politik tak punya dalil dan standar moral, seluruhnya bertarung bebas di lapangan tanpa tepi, tanpa garis batas dan pinggir. Mereka saling menerkam satu sama lain, menghisap darah saudara dan tetangga sendiri, dan tentu saja, wajah-wajah kemarahan ditemukan di segala sudut negeri.
Tahun lalu adalah tahun bellum omnium contra omnes, pertarungan antar subyek merebut kekuasaan dengan dalil dan dalih yang rumit dan plural. Orang-orang bertapa sepenuh hati hanya untuk berusaha mencungkil kekuasaan kawannya, atau menipu rakyat yang memilihnya.
Senjakala kekuasaan membuat separuh homo politics menderita dalam nestapa kekalahan, sebagiannya lagi menari diatas panggung karena merayakan kemenangan dan keberhasilan membangun tipu muslihat dan memanipulasi hukum dan konstitusi.
Timbunan problem ini bergerak bersama jantung demokrasi yang terluka menganga, sebab prinsip dan nilai-nilai dasarnya di cabik-cabik dengan sabetan tajam mulut berbisa para kontestan yang memburu kekuasaan itu. Mereka tak ragu mengucapkan kebohongan secara telanjang, menjanjikan membangun jembatan di daerah yang tanpa selokan dan tanpa sungai, menjanjikan pengadaan perahu dan kapal di masyarakat pegunungan. Seluruhnya terkapar diatas altar demokrasi yang suram, gelap dan tanpa arah.
Demokrasi yang sejatinya adalah standar dan prinsip bertindak bagi subyek politik, menderita tumor yang makin hari makin bengkak. Itulah sebabnya, perlu peta jalan yang dibangun secara kolektif untuk mengembalikan ke jalan demokratis yang sesungguhnya. Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan tidak dibangun dalam lipatan kepalsuan dan kebohongan, tetapi dibangun diatas nilai-nilai dan tanggungjawab moral yang agung.
Keagungan moralitas demokrasi itu tercermin dalam patahan-patahan tindakan subyek, menyatu dan membesar sehingga menjadi tindakan kolektif. Makin besar unitas tindakan, makin kuat kolektivitas yang terbentuk. Atas dasar itu, saya berani mengatakan, bahwa menguatnya para kleptokrat dalam demokrasi akan tersapu oleh badai massa keolektivitas dan nilai-nilai agung yang di “imani” bersama oleh seluruh elemen bangsa. Demokrasi akan mengibarkan panji kebesaran dan kemenangan, seraya menghapus jejak para bandit yang menguasai elemen kekuasaan.
Hukum sebagai “kuda tunggangan”.
Seandainya demokrasi bersenyawa dengan tindakan subyek, maka hukum pasti menjadi panglima. Karena hukum akan mengarahkan perilaku subyek politik, agar tak keluar dari garis batas. Tetapi oleh politik, hukum dipecundangi sedemikian rupa hingga tak berdaya menghadapi tekanan politik yang makin brutal.
Dalam skema seperti ini, apakah betul pertanyaan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (2018)?. Mungkinkan demokrasi telah tewas di tiang gantungan politik?. Atau sekedar gincu pemilu untuk menangkan hati rakyat, sementara substansinya secara utuh dipeloroti dan dilucuti tanpa ampun?. Lalu bagaimana hukum mengendalikan itu semua?. Apakah hukum menghamba sepenuhnya pada politik?.
Diskursus dan pertanyaan seperti inilah yang terus berdendang sepanjang tahun. Kemana hukum bersembunyi dan dimana tempatnya ia berada, saat ia dibutuhkan untuk melindungi kebebasan, memberi keadilan dan meletakkan kesetaraan secara simultan?. Sebagian dilindungi, sebagian yang lain diburu seperti hewan berbahaya dalam hutan belantara.
Hukum tak dapat menyapu secara equal seluruh subyek yang melanggar ketentuan normanya. Hukum hanya dapat menjangkau mereka yang tak punya uang dan tak pegang kendali kekuasaan. Saat hukum ditekan oleh uang dan kekuasaan, ia membelot dan timbangannya berat sebelah. Hukum melindungi tuannya, dan tuannya adalah kekuasaan dan uang itu.
Itulah sebabnya, nasib demokrasi di ujung tanduk, sebab hukum yang seharusnya sebagai standar nilai untuk menyeimbangkan perilaku subyek dalam demokrasi, dimanipulasi, ditekan dan dipecundangi oleh uang dan kekuasaan. Akibatnya, rumah demokrasi yang menjadi tenda masyarakat beradab, justru tak memberi kepastian, keadilan dan kesetaraan.
Akhirnya, hukum punya tuan untuk ia layani. Hukum punya tuan untuk dipuja dan dilindungi. Para penegak hukum tak lebih hanya sebagai gladiator yang memburu musuh tuannya. Sepanjang tuannya memberi perintah, ia bergerak tanpa berpikir banyak. Sebab, kepatuhan dan rasa hormat tanpa reserve pada tuan adalah cara untuk menunjukkan kesetiaan. Kesetiaan penegak hukum diukur dari kepatuhan memenuhi perintah tuannya. Dan tuannya adalah uang dan kekuasaan. Disitulah demokrasi menjadi tak berdaya.
Tahun ini adalah tahun ketakpastian, ambivalensi dan dramaturgi. Semoga tahun depan menjadi tahun keajaiban, tahun ketenangan dan tahun merumuskan masa depan demokrasi dan mengembalikan prinsip-prinsip yang menyertainya.
Wallahu a’lam bishowab.