Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Tahun berganti, kekuasaan digilir, hukum diterpa badai kekangan, intervensi dan manipulasi. Di tahap pembentukan, hukum telah ternoda sejak awal, karena transaksi pada pembentukan norma dan diskursus yang menyertainya telah menjadi rahasia umum, adalah hasil kolaborasi kepentingan kekuasaan yang plural.
Di tahap penegakan, hukum telah menjadi alat bancakan, memburu lawan, melindungi kawan, menyerang musuh, dan sebagai tameng kekuasaan. Hukum tak ubahnya adalah alat yang bisa digunakan di segala kepentingan dan menimpa banyak korban. Pertarungan medan kekuasaan telah menyeret hukum dalam titik yang tak pasti, padahal salah satu tujuan hukum adalah kepastian.
Dinding kekuasaan yang dijaga ketat, menyebabkan hukum terseret arus, dan kian membesar arus itu berdesakan, hukum makin ke pinggir. Tersapu arus ditengah kerumunan hasrat dan kepentingan kekuasaan, adalah penderitaan yang tak terkira, sebab ia tergencet ke titik terdalam, jauh melampaui ruang gerak yang disediakan, sehingga akhirnya jatuh musnah bersama sejarah. Hukum saat ini, berada dalam situasi itu, tergencet jauh ke dasar dan tertekan ke dalam, lalu hancur diremukkan oleh kekuasaan.
Keadilan sebagai cermin dan detak jantungnya hukum, dikuliti dan diarak ke tiang gantungan sejarah. Keadilan makin jauh, makin tak terjangkau, dan kian remuk tanpa bentuk. Karena saking brutalnya kekuasaan mengendalikan hukum, subyek dan prinsip yang berkaitan dengan hukum dibakar diatas tungku kepentingan yang tak pernah usai dipersoalkan.
Apa yang terjadi di ujung senjakala demokrasi yang ditaburi racun mematikkan dan membunuh masa depan kita bernegara seperti ini?. Kita dapat melihat dalam etalase politik penegakkan hukum kita, betapa mengejutkan, sejumlah orang diburu dan ditetapkan tersangka, sementara sebagian yang lain dibiarkan berkeliaran tanpa tersentuh. Yang di vonis pun kadang tidak masuk akal, seperti Harvey Moeis yang hanya dijatuhi penjara 6,5 tahun, sementara ia merampok senilai Rp. 300 Trilyun. Bukankah itu adalah putusan yang tak masuk akal sama sekali?. Tidak-kah waras kita dilucuti oleh rasio legis yang jungkir balik?.
Tahun ini memang tahun yang penuh sesak dengan ragam persoalan. Tahun ini adalah tahun yang dijejali oleh relasi kuasa, politik dan hukum yang berjejal dalam rumus-rumus yang rumit dipecahkan. Pemilu dengan gegap gempita, rumor, kebohongan dan manipulasi yang tiada tara, dilewati dengan sekuat tenaga, hampir saja pertumpahan darah diantara anak bangsa, terjadi di tahun ini. Perburuan kekuasaan menjadi pemicunya.
Kisruh Pemilu, disamping decak kagum dan tepuk tangan riuh para pemain politik, meninggalkan jejak tak terhapus. Janji kekuasaan yang pesona-nya luar biasa, mulai memuakkan justru selang beberapa lama presiden terpilih dilantik. Pemilu yang dipenuhi dengan jutaan janji dan harapan, tak lebih dari sekedar tipu muslihat, lalu rakyat di tinggalkan dalam kepingan harapan. Para politisi seperti lintah darat yang menghisap rakyat sedemikian rupa, hingga mati terkapar dalam segumpal harapan yang tak pernah datang. Betapa tidak, pengkhianatan pertama adalah menaikan pajak barang yang dikonsumsi oleh seluruh masyarakat, sementara mereka sedang dalam kesulitan.
Ditengah riuhnya rakyat persoalkan kenaikan pajak, ditengah rakyat menanti banyak harapan atas janji-janji yang diucapkan, presiden kembali mengeluarkan pernyataan yang melukai rasa keadilan publik. Dulu waktu kampanye, berjanji memburu koruptor hingga ke lubang tikus sekalipun. Semangat itu membawa harapan, bahwa koruptor dimasa pemerintahan ini, akan diburu secara serius. Kalimat yang diucapkan saat kampanye tegas, keras dan dengan nada mengancam. Koruptor, “tamatlah riwayat mu ditanganku, hai koruptor”, begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan.
Namun saat pelantikan para menteri, presiden yang gagah dan perkasa itu, menempatkan beberapa mereka yang selama ini disebut berulang-ulang dalam beberapa kasus yang diduga melakukan kejahatan yang tak termaafkan itu, sebagai menterinya. Terjadi kontradiksi antara janji kampanye dan tindakan politik yang diambil. Tetapi sekali lagi itu bisa dipahami, sebab, sepanjang Pemilu berlangsung, mereka satu barisan, mendukung sang pemenang.
Ternyata memang ada udang dibalik batu. Sebab presiden menyiapkan rencana untuk memberi impunitas kepada koruptor. “Kalian yang korupsi, silakan minta maaf, kembalikan yang kalian curi, masalah selesai”. Demikian kira-kira maksud pidato presiden disuatu acara. Sederhana sekali cara pandangnya, Banality of mind. Ide dan gagasannya, tidak menunjukkan kedalaman berpikir, sebab mengampuni koruptor adalah sama dengan merestui kejahatan itu. Bukankah yang harus di dorong adalah asset recovery?. Ucapan presiden menunjukkan betapa ia takluk pada penjahat, preman dan pencuri yang ia tuduh. Bukankah tanpa berdamai dengan mereka, Negara bisa merampas harta yang mereka curi, dan memenjarakannya sekaligus, agar ia tau, bahwa karena kesalahannya telah membuat jutaan rakyat menderita?.
Mendung keadilan kini kian pekat. Mendung hukum lebih pekat lagi. Sebab hukum dilucuti tujuannya. Kejadian, kepastian dan kemanfaatan tak lagi ditemukan hampir disemua arena. Sebab kekuasaan makin tak punya keberpihakan pada penegakkan hukum.
Selamat tinggal tahun 2024.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin