Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Ada sebuah negeri, kebanyakan rakyatnya tidak percaya pada hukum, sementara dalam konstitusi mereka tertulis, “Aku adalah Negara hukum”.
Paradigma ini merebak di segenap penjuru negeri, sebab rakyatnya sudah tak percaya pada hukum. Hukum tak lebih sebagai gincu semata, agar disebut sebagai Negara beradab, sebab Negara modern tanpa hukum, tak bisa disebut Negara beradab. Hukum ditunggangi tanpa ampun, dilucuti tanpa sisa, di “nodai” tanpa rasa bersalah. Hukum adalah Kuda Troya yang jadi tunggangan kekuasaan, menginjak yang lemah, menghancurkan yang miskin, memenjarakan yang tak punya uang dan bekingan.
Undang-undang tak lebih dari sekedar buku-buku tak bertuan, ditafsir secara semena-mena, dipahami sepihak, dijalankan seperti pisau ‘bermata satu’. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam pada mereka yang tidak memiliki uang dan kekuasaan, tumpul pada mereka yang pegang kendali uang dan kekuasaan. Hukum menerabas kepentingan orang miskin, memuja dan memberhalakan kepentingan orang yang berkuasa.
Diskursus keadilan dan kesetaraan dalam hukum hanya konsumsi mereka yang berkuasa. Sementara bagi rakyat kebanyakan, diskursus itu hanya pemanis di bibir saja, tidak pernah benar-benar memperoleh perlindungan dan keadilan sepenuhnya. Peristiwa ketidakadilan bagi masyarakat kecil selalu sunyi. Sunyi dari perhatian masyarakat, sunyi dari perlakuan yang adil dan tak pernah ditangani secara serius. Kadang mereka berakhir tanpa kesimpulan.
Skeptisisme pada hukum.
Skeptisisme adalah keragu-raguan, atau pendirian seseorang yang meragukan eksistensi sesuatu. Pada skeptisisme kuno, keraguan itu timbul pada kepercayaan; seperti, “betulkah Tuhan itu ada?”, benarkah ada surga dan neraka”, atau “adakah kehidupan setelah kematian?”. Sementara pada skeptisisme modern, keraguan itu terjadi pada ilmu pengetahuan. Temuan-temuan ilmu pengetahuan harus di dasari oleh keraguan, dan hasilnya juga disertasi dengan keraguan baru.
Dalam konteks ini, Vasiliou (2019) menuding bahwa dulu Kaum Stoa mengeksplorasi perbedaan antara persepsi indra, ilusi, dan halusinasi. Sementara Shogry (2018) memberikan penjelasan tentang kriteria kebenaran dimulai dari kesan persepsi yang memenuhi syarat, atau gagal memenuhi syarat, sebagai kognitif. Pada akhirnya persepsi menempati posisi penting dalam membentuk keyakinan akan sesuatu.
Lalu kenapa orang meragukan hukum?. Berarti ini bersumber pada persepsi. Bukankah persepsi berakar pada kenyataan?. Jika ia berakar pada kenyataan, maka kenyataan mana yang dimaksud?. Jelas kenyataan bahwa hukum mengubah wajahnya bukan untuk melindungi kepentingan yang lemah, tetapi justru eksistensinya untuk memberikan perlindungan terhadap harta dan kekuasaan sekelompok orang.
Kita lihat bagaimana survey Indikator pada 30 Desember 2023 sampai 6 Januari 2024 yang menunjukkan angka yang baik pada kinerja penegakkan hukum. Dimana Kejagung mencapai 76,2 persen, Polri 75,3 persen, Pengadilan 75,2 persen, MK 70,8 persen, dan KPK 70,3 persen.
Namun dalam survey yang berbeda pada Juni 2024, Kompas memotret tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah pada bidang penegakan hukum. Terlihat angkanya di 57,4 persen. Salah satu yang dipotret di aspek ini adalah kepuasan publik terkait kinerja penjaminan perlakuan yang sama oleh aparat hukum kepada semua warga. Pada aspek kinerja tersebut, penegak hukum Indonesia memperoleh kepercayaan sebesar 59,1 persen. Angkanya terlihat lebih dari 50 persen. Tetapi bukankah keraguan pada sekitar 41 persen merupakan jumlah yang sangat besar?.
Skeptisisme pada hukum, khususnya pada penegakkan hukum ini cukup beralasan, sebab ada banyak kasus yang seharusnya memperoleh perlakukan yang sewajarnya, justru tidak terjadi. Sebagian menudingnya sebagai “ketundukan hukum dibawah tekanan uang dan kekuasaan”. Sebagian lagi menyebut “hukum tak berdaya dibawah asupan oligarki”.
Apapun istilah yang digunakan, hukum tidak selalu menjadi pemeran utama dalam dramaturgi yang ia ciptakan sendiri. Kadang, para dalang dan akrobat politik menghancurkan rencana-rencana hukum. “Aku adalah Negara hukum” menjadi semacam metafora untuk membahagiakan diri sendiri. Sebagai metafora, ia mengandung anasir-anasir yang tak pasti. Itulah sebabnya hukum seringkali dipecundangi. Karena sering dipecundangi, orang akhirnya skeptis pada hukum. Publik akan bertanya; benarkah ada hukum?.
Pada tahapan yang paling subtil, publik akan bertanya; adakah keadilan?. Ini pertanyaan dengan rasa frustasi, sebab pada kenyataannya kasus hukum selalu tak pernah mendapatkan keadilan. Contoh sederhana adalah putusan pengadilan terhadap Harvey Moies, yang hanya divonis 6 tahun 6 bulan penjara dan pidana denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. sementara korupsinya menyentuh angka Rp. 300 Trilyun. Adilkah?. Layak-kah?. Rasional-kah?. Putusan yang membunuh waras publik, sehingga orang ragu pada hukum.
Semoga tahun 2025, hukum benar-benar menjadi panglima, tidak terus menjadi prajurit. Wallahu a’lam bishowab.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin